Ad2stream – Ketindihan. Fenomena ketindihan saat tidur seringkali menimbulkan ketakutan dan rasa bingung di kalangan masyarakat. Banyak yang mengaitkan pengalaman ini dengan unsur mistis, seperti percaya bahwa mereka ditindih oleh makhluk halus. Namun, menurut dr. Rizka Ibonita, SpN, seorang dokter spesialis neurologi, ketindihan sebenarnya merupakan sebuah kondisi medis yang dikenal sebagai sleep paralysis atau paralisis tidur.
Dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan RI, dr. Rizka menjelaskan apa itu ketindihan yang sama bahwa sleep paralysis terjadi pada fase tidur yang dikenal sebagai REM (rapid eye movement). Pada fase ini, otak aktif, tetapi tubuh dalam keadaan lumpuh secara fisiologis. Hal ini bertujuan untuk mencegah individu bergerak saat mengalami mimpi, sehingga melindungi mereka dari potensi cedera akibat pergerakan yang tidak sadar. Ketika seseorang terbangun sebelum fase REM selesai, otak mereka masih belum mengirimkan sinyal untuk menggerakkan otot, yang mengakibatkan kondisi ketindihan.
Related to this experience, dr. Rizka menekankan bahwa panik adalah reaksi umum yang dialami seseorang saat mengalami sleep paralysis. Seseorang akan merasa terjaga, tetapi tidak mampu menggerakkan badan. Situasi ini bisa sangat menakutkan, apalagi ditambah dengan kemungkinan munculnya halusinasi yang khas dalam kondisi ini. Halusinasi tersebut sering dipersepsikan oleh masyarakat sebagai “ditindih makhluk halus.”
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami ketindihan. Penyebab utama yang sering diidentifikasi adalah kelelahan yang berlebihan. Mereka yang memiliki pola tidur yang tidak teratur atau memiliki tingkat stres yang tinggi juga lebih rentan terhadap kondisi ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa genetik dapat berperan dalam kemungkinan terjadinya sleep paralysis, di mana anggota keluarga yang memiliki riwayat serupa dapat mengalami gejala yang sama.
Durasi ketindihan bervariasi, tergantung pada posisi seseorang dalam siklus REM. Dalam beberapa kasus, kondisi ini dapat berlangsung hingga 20 menit, tergantung pada waktu terbangun. Oleh karena itu, penting bagi individu yang mengalami sleep paralysis untuk mengelola respons emosional mereka dalam situasi tersebut.
Untuk mengatasi keadaan ini, dr. Rizka merekomendasikan agar tetap tenang dan tidak melawan kondisi yang terjadi. Gerakan kecil, seperti menggerakkan jari-jari tangan atau kaki secara perlahan, dapat membantu mengembalikan kontrol atas tubuh. Selain itu, mengatur pernapasan dengan perlahan dapat membantu memulihkan kedamaian dan mengurangi stres.
Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai swim paralysis, diharapkan masyarakat tidak lagi mengaitkan pengalaman ketindihan dengan hal-hal mistis, melainkan melihatnya sebagai fenomena medis yang dapat dikelola. Mempunyai pola tidur yang teratur, mengurangi stres, serta menjaga kesehatan fisik dan mental dapat berkontribusi pada pengurangan kejadian sleep paralysis.