Ad2stream – Kasus IWAS. Di tengah upaya pemberantasan kekerasan seksual di Indonesia, muncul sebuah kasus yang memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat dan media. Kasus ini melibatkan IWAS, seorang pria disabilitas tunadaksa yang dituduh melakukan pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi bernama MA di Taman Udayana, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Insiden ini bukan hanya menyoroti masalah kekerasan seksual, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang eksploitasi dan manipulasi, terutama mengingat kondisi fisik pelaku.
Latar Belakang Kasus
Menurut informasi yang disampaikan oleh kuasa hukum MA, Andre Safutra, peristiwa yang menimpa kliennya terjadi pada pukul 08.00 WITA, ketika MA sedang membuat konten video di Taman Udayana. IWAS, yang saat itu tidak mengenal MA, menghampiri dan berkenalan dengannya. Dalam keadaan yang penuh kelemahan emosional, terutama saat menghadapi ingatan tentang masa lalunya, MA menjadi sasaran manipulasi psikologis IWAS.
Andre menjelaskan bahwa IWAS memanfaatkan momen ketika MA terlihat tertekan setelah melihat pasangan muda-mudi berciuman. Pelaku menggunakan pertanyaan dan tebakan untuk memunculkan rasa sakit hati MA, yang berujung pada kenyataan bahwa korban merasa terpojok secara emosional.
Manipulasi dan Intimidasi
Setelah membuat korban merasa tidak berdaya, IWAS mengajak MA menuju gedung belakang Teras Udayana. Di tempat tersebut, IWAS melanjutkan intimidasi dengan berbagai ancaman dan manipulasi. Ia menyaratkan bahwa MA harus mandi suci untuk membebaskan dirinya dari trauma masa lalu. Penggambaran ritual mandi suci ini menunjukkan bagaimana IWAS mencoba menggunakan taktik agama untuk mendapatkan kontrol atas korban.
Ancaman IWAS semakin menguatkan ketakutan MA. Ia mengklaim bahwa jika MA menolak untuk mengikuti perintahnya, ia akan melaporkan apa yang terjadi di masa lalu antara MA dan mantan kekasihnya kepada keluarganya. Ketika perasaan takut dan terancam mengalahkan MA, ia setuju untuk mengikuti IWAS ke sebuah homestay di Mataram.
Kronologi Pemerkosaan
Setibanya di homestay, IWAS berhasil memasuki kamar yang telah dipesannya dengan cara yang tak biasa, menggunakan bibirnya untuk menggigit kunci. Di dalam kamar, IWAS melancarkan berbagai perintah, termasuk meminta MA untuk mandi dan mengikuti proses yang disengaja dengan membaca mantra dalam bahasa Bali.
Kondisi MA saat itu sangat membingungkan dan tertekan. Ia mencoba menolak dan berusaha melawan, tetapi IWAS terus mengancamnya, menakut-nakuti untuk tidak membuat suara, dengan pernyataan yang merendahkan dan mengontrol.
Dalam situasi yang semakin memburuk, IWAS memaksakan kehendaknya dengan kekerasan, memaksa MA untuk membuka celananya, dan pada akhirnya, melakukan tindakan pemerkosaan. Di tengah situasi krisis ini, MA berusaha mencari pelindung dengan membaca Ayat Kursi, yang menunjukkan upaya untuk mencari ketenangan di tengah keterpurukan.
Reaksi dan Penanganan Hukum
Setelah kejadian tersebut, MA mendapatkan keberanian untuk melaporkan insiden yang dialaminya. Ia memberitahu salah satu rekannya tentang apa yang telah terjadi. Reaksi cepat dari pihak kepolisian Mataram menunjukkan betapa pentingnya penanganan kasus IWAS ini dalam kekerasan seksual, terlepas dari siapa pelakunya. Polisi menetapkan IWAS sebagai tersangka dan kini kasus IWAS ini sedang dalam proses hukum lebih lanjut.
Refleksi atas Kasus Ini
Kasus IWAS memunculkan banyak pertanyaan dan perdebatan. Dalam konteks kekerasan seksual, penting untuk diingat bahwa korban tidak pernah berada dalam posisi yang nyaman. Walaupun IWAS adalah seorang penyandang disabilitas dan mungkin tidak memiliki kuasa fisik yang sama dengan individu lain, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tindakan kekerasan. Apa yang terjadi dalam kasus ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Lebih jauh lagi, masyarakat perlu memahami bahwa tindakan manipulatif dan psikologis dari pelaku bisa jadi lebih berbahaya daripada kekerasan fisik. Kasus pria disabilitas perkosa mahasiswi ini mengingatkan kita akan pentingnya memberikan dukungan kepada korban, serta memastikan adanya prosedur hukum yang transparan dan adil.
Kesimpulan
Kasus IWAS yang seorang pria disabilitas setubuhi mahasiswi adalah pengingat yang menyedihkan namun penting akan kerja keras yang masih harus dilakukan dalam perjuangan melawan kekerasan seksual di Indonesia. Dalam rangka menciptakan masyarakat yang lebih aman, diperlukan kesadaran kolektif untuk melindungi korban dan menghukum pelaku dengan tegas tanpa melihat latar belakang fisik atau sosial mereka. Diperlukan upaya bersama antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan di mana setiap individu, terutama wanita, merasa aman dan terlindungi dari kekerasan yang tidak beralasan.