Ad2stream, Jakarta – Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto. Mengatakan keadaan hukum di Indonesia saat ini tidak lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dia menyebut penguasa menggunakan hukum sebagai senjata politik.
“Membisu-membisu, mereka memakai otoritas sebagai lembaga tinggi negara untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan para elite penguasa,” kata Sulistyowati Irianto. Dalam pembicaraan publik yang digelar oleh Nurcholis Madjid Society. Bertajuk “Peraturan sebagai Senjata Politik” di Aula Graha STR, Jakarta Selatan, pada Rabu, 19 Juni 2024.
Sebagai teladan, Sulistyowati Irianto menyoroti kinerja Dewan Perwakilan Rakyat yang sering kali melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) tanpa adanya urgensi yang jelas dan konkret. Alih-alih memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat.
Kontroversi dan Polemik UU Menurut Sulistyowati Irianto
UU yang direvisi tersebut justru berpotensi merusak dan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Contohnya, revisi UU Penyiaran yang berisiko membatasi kebebasan pers, revisi UU TNI dan Polri yang dapat mengganggu keseimbangan sipil-militer, dan beberapa revisi lainnya yang menimbulkan kontroversi di kalangan publik.
Selain itu, ia juga menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) yang keputusannya kerap menuai kontroversi. Diketahui, MK pernah mengeluarkan putusan mengenai batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Sejumlah pengamat menyebut, putusan itu menguntungkan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju dalam pemilihan presiden 2024.
Walaupun MA mengabulkan permohonan uji materiil dari Partai Garuda mengenai batas usia calon kepala daerah pada Rabu, 29 Mei 2024, pengamat mengevaluasi putusan itu membuka jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam pemilihan kepala daerah 2024.
“Aku kurang paham para sarjana hukum yang menjadi hakim-hakim itu, apakah mereka sengaja menyalahgunakan teori yang mereka pakai di kelas, yaitu positivisme hukum,” sebutnya
Sulistyowati Irianto menjelaskan bahwa para hakim seperti itu hanya menganggap aturan sebagai teks-teks dan pasal-pasal, tanpa memperhatikan substansinya yang mendalam. Mereka kerap kali kurang memperhatikan pengaruh nyata dari penerapan aturan tersebut dan bagaimana hal itu mempengaruhi keadilan dalam praktik.