Ad2stream – Thariq Halilintar. Dalam dunia Islam, haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim yang mampu. Namun, apa yang terjadi ketika seorang bayi dikatakan telah melaksanakan ritual haji? Hal ini menjadi perdebatan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Kasus yang terjadi pada Thariq Halilintar, putra dari pasangan Lenggogeni Faruk dan Ahmad Halilintar, menimbulkan pertanyaan tentang praktik ini. Ibunda Thariq menyatakan bahwa ia telah membawa Thariq, yang saat itu berusia 2 bulan, untuk melaksanakan ibadah haji. Lenggogeni Faruk mengungkapkan bahwa Thariq telah menunaikan ibadah haji, padahal ia sendiri baru saja selesai masa nifas.
Praktik ini tentu saja menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. Sebagian mempertanyakan validitas dan keabsahan ritual haji bagi seorang bayi yang belum memahami makna dan esensi dari ibadah tersebut. Mereka berpendapat bahwa haji merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang sudah baligh (dewasa) dan memiliki kemampuan finansial serta fisik yang memadai.
Di sisi lain, terdapat pula kelompok yang memahami praktik ini sebagai bagian dari budaya dan tradisi tertentu dalam masyarakat. Beberapa masyarakat, khususnya di Indonesia, memiliki keyakinan bahwa membawa bayi untuk menunaikan ibadah haji dapat memberikan berkah dan perlindungan bagi sang anak. Tradisi ini dianggap sebagai bentuk pengharapan orang tua untuk kelak anaknya tumbuh menjadi pribadi yang shalih dan taat dalam menjalankan ajaran agama.
Meskipun perdebatan ini masih berlangsung, penting untuk memahami bahwa setiap praktik keagamaan memiliki nuansa budaya dan latar belakang yang beragam. Dalam konteks ini, praktik haji bayi dapat dipandang sebagai manifestasi dari upaya orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama sejak dini, meskipun secara hukum Islam, haji diwajibkan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syaratnya.
Pada akhirnya, perbedaan pandangan ini tidak selayaknya menjadi pemicu konflik. Justru, pemahaman yang komprehensif dan toleransi terhadap keberagaman praktik keagamaan dapat menjadi solusi yang bijaksana dalam menyikapi fenomena ini. Dengan demikian, diskusi yang sehat dan konstruktif dapat berkontribusi pada perkembangan pemahaman keagamaan yang lebih holistik dan moderat.