Ad2stream – Azizah Salsha. Di tengah maraknya fenomena kreator konten di media sosial, tak jarang muncul kasus hukum yang melibatkan nama-nama ternama. Salah satu kasus yang tengah menjadi sorotan adalah dugaan pencemaran nama baik yang melibatkan konten kreator Jessica Felicia dan influencer Azizah Salsha. Kasus ini kini telah dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, menggugah perhatian publik mengenai etika dan batasan dalam beropini di ruang digital.
Jessica Felicia telah diperiksa sebagai terlapor atas laporan yang diajukan oleh Azizah Salsha. Dalam proses pemeriksaan tersebut, Jessica mengklaim memiliki bukti yang menunjukkan adanya dugaan perselingkuhan antara Azizah Salsha dan Salim Nauderer. Pernyataan ini semakin memperumit dinamika antara kedua pihak, terutama mengingat Jessica mengaku tidak kenal satu pun dengan orang-orang yang terlibat, termasuk Salim Nauderer dan Azizah Salsha sendiri.
Kuasa hukum Azizah Salsha, Ega Marthadinata, menyanggah klaim Jessica dan mempertanyakan validitas bukti yang dikemukakan. “Secara logika, aneh ya, orang yang kita tidak tahu mengenai orang-orang di sekitar kita, tapi kita tahu apa yang dia lakukan. Ini cukup aneh. Tapi tidak masalah, tentunya silahkan kalau dia yakin, silahkan buktikan kepada penyidik,” ungkapnya dalam sebuah konferensi pers secara daring. Ega Marthadinata optimis bahwa pembuktian di tahap penyidikan akan membuka kebenaran tentang pernyataan Jessica Felicia.
Sementara itu, Jessica tetap pada pendiriannya dengan menyatakan bahwa ia telah menyerahkan bukti dugaan perselingkuhan tersebut kepada pihak penyidik. “Kalau dari saya, perselingkuhan itu memang betul adanya,” ujarnya, berupaya menegaskan konsistensi informasi yang ia miliki.
Kasus ini berakar dari laporan yang diajukan oleh Azizah Salsha terhadap sejumlah akun media sosial yang diduga menyebarkan informasi hoaks dan mencemarkan namanya. Tindakan tersebut merujuk pada Pasal 45 ayat (4) juncto Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi hukum yang dapat dihadapi oleh individu di ranah digital.
Dengan adanya kasus ini, publik diimbau untuk lebih bijak dalam menyebarkan informasi di media sosial. Etika komunikasi dan tanggung jawab hukum harus senantiasa menjadi pertimbangan bagi setiap konten kreator. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk menunggu hasil penyidikan yang dilakukan oleh pihak berwenang. Hanya dengan transparansi dan kejelasan di dalam proses hukum, kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua individu yang terlibat dalam dunia digital.
Akhirnya, kasus ini bukan hanya sekadar perang kata-kata di media sosial, tetapi juga mencerminkan kompleksitas hubungan sosial dan hukum yang hadir dalam era digital saat ini. Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya dari kasus ini dan berharap akan muncul pemahaman yang lebih baik mengenai batasan serta tanggung jawab di dunia maya.