Ad2stream – Kasus Mutilasi. Pada akhir bulan Oktober 2024, Jakarta Utara dihebohkan oleh sebuah kasus pembunuhan yang mengerikan—mutilasi seorang perempuan tanpa kepala berinisial SH (40) oleh mantan suami sirinya, Fauzan Fahmi (43). Kasus mutilasi ini mengguncang masyarakat dan menimbulkan banyak pertanyaan mengenai motif dan keadaan psikologis pelaku. Dalam artikel ini, kita akan mendalami lebih dalam tentang peristiwa ini, menggali motif di balik tindakan Fauzan, serta menyelidiki aspek psikologis yang mungkin terlibat.
Kronologi Kejadian
Kejadian mengenaskan ini terjadi pada tanggal 27 Oktober 2024, ketika Fauzan membunuh SH di rumahnya di Muara Baru. Menurut kesaksian Fauzan, ia merasa sakit hati atas ucapan korban yang dianggap menghina istri dan orang tuanya. Emosi yang meluap-luap membuatnya melampiaskan kemarahannya dengan tindakan keji. Setelah mencekik SH hingga tidak sadarkan diri, Fauzan melakukan mutilasi dengan cara yang sangat brutal, membuang kepala dan tubuh korban secara terpisah.
Fauzan mengakui bahwa ia tidak sadar sepenuhnya saat melakukan pembunuhan tersebut. Dalam video yang diunggah di Instagram oleh pihak kepolisian, ia menyatakan, “Saya juga nggak tahu, Pak, saya waktu (membunuh), nggak ngelihat apa-apa, saya itu bikin emosi aja kali.” Pengakuan ini menunjukkan adanya kehampaan moral dan kesadaran diri yang sangat minim, yang seringkali menjadi ciri khas perilaku kriminal berat.
Penemuan Jasad
Kasus mutilasi di Muara Baru ini mulai terkuak ketika bagian tubuh SH ditemukan pada tanggal 29 Oktober 2024. Jenazah korban ditemukan dalam keadaan mengenaskan; tanpa kepala dan dibungkus dengan karung, selimut, dan kardus. Penemuan ini menjadi titik balik bagi polisi dalam melacak pelaku dan mengungkap latar belakang kejadian tersebut.
Fauzan, saat ditanya oleh pihak berwajib, mengaku bahwa ia terlebih dahulu membuang kepala korban sebelum akhirnya membuang sisa tubuhnya ke Danau Muara Baru. Dalam penjelasannya, Fauzan menyatakan bahwa ia ‘lagi marah’ pada saat melakukan kejahatan tersebut, menandakan bahwa emosi sesaat bisa berujung pada tindakan yang sangat merusak.
Motif di Balik Kejahatan
Dari keterangan yang diungkapkan, terlihat bahwa rasa sakit hati menjadi pendorong utama tindakan brutal ini. Fauzan merasa terhina akibat ucapan SH yang menyebut istrinya dan orang tuanya dengan kata-kata yang merendahkan. Hal ini menunjukkan bagaimana perasaan tertekan dan marah dapat memicu reaksi ekstrem yang biasanya tidak terpikirkan oleh orang awam. Dalam beberapa kasus mutilasi dan kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan, perasaan terhina atau dikhianati sering kali menjadi pemicu. Penelitian menunjukkan bahwa emosi kuat, seperti kemarahan dan frustrasi, dapat menimbulkan konflik yang berujung pada tindakan kekerasan jika tidak ditangani dengan baik.
Hubungan Antara Pelaku dan Korban
Fauzan dan SH pernah menikah secara siri, tetapi hubungan mereka telah berakhir sekitar dua tahun yang lalu. Menariknya, meskipun sudah lama tidak bertemu, pertemuan yang tampaknya sepele—di mana SH meminta ikan—berujung pada tindakan kriminal yang mengerikan. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara pelaku dan korban, di mana rasa sakit hati dari masa lalu dapat membara kembali dan memicu tindakan jalang.
Aspek Psikologis Dari Kejahatan
Tindakan Fauzan dapat dilihat dari perspektif psikologis. Pembunuhan sering kali tidak hanya dipicu oleh satu faktor, tetapi merupakan hasil dari gabungan beberapa elemen, seperti kondisi mental pelaku, situasi sosial, dan faktor emosional. Dalam kasus wanita tanpa kepala ini, Fauzan menunjukkan tanda-tanda gangguan emosi yang cukup serius, di mana ia tidak dapat mengendalikan kemarahannya. Persepsi Fauzan tentang dunia dan orang di sekelilingnya tampak terdistorsi—membuatnya merasa bahwa tindakan kejam adalah cara untuk membalas rasa sakit yang ia alami.
Kesimpulan
Kasus Fauzan Fahmi merupakan pengingat yang kelam tentang sisi gelap emosi manusia dan bagaimana hal tersebut dapat memicu tindakan yang sangat merugikan. Penting untuk memahami bahwa kejahatan tidak hanya terjadi karena satu faktor, tetapi merupakan akibat dari kompleksitas psikologis dan sosial yang perlu ditangani. Dalam menghadapi tindakan kekerasan semacam ini, pendekatan pencegahan yang melibatkan pendidikan, konseling psikologis, dan penyuluhan agaknya menjadi sebuah langkah penting untuk meminimalisir terjadinya kasus mutilasi serupa di masa depan.
Kehidupan manusia sangat berharga, dan sudah saatnya kita lebih berhati-hati dalam memperlakukan satu sama lain, serta memberikan perhatian lebih pada kesehatan mental di masyarakat kita.